Welcome to my Blog, Happy reading and Jesus blessed

www.facebook.com/lucky.koloay

Monday, November 21, 2011

Gusti Allah, Tidak Ndeso


 
Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak Ndeso

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun," kata
sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi
tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat
Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah
sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya, nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan
dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah
ndeso gitu," jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya
mau masuk surga tidak ngajak-ngajak. Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan
ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan
tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau
menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang
kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang
kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari
tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran,
membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari
berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia
sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga,
orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak
korupsi, dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.

Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun
masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang,
tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan
penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca
al-quran. Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di
kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output
sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan
dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi
juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama
tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita
cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura,
menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila
saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya,
melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi
kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan
tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski
beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum
mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang
bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa
sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,
sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

"Bagi dunia kau hanya seseorang, tapi bagi seseorang kau adalah dunianya."

0 komentar:

TWITTER UPDATES







All My Blogs

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog