Tidak Cukup Menghapal
Siang hari yang terik dengan semangkuk
irisan buah ditanganku, aku menikmati semilir angin yang menerobos masuk
di Loji Pastoral. Om Yo, demikian aku memanggilnya tengah asyik
mengamati beberapa kaktus koleksi Tante Hanna istrinya.
Oh iya, Loji Pastoral itu sebutan ibu
untuk pastory gerejaku. Ini adalah rumah kedua yang sudah pasti selalu
aku rindukan setelah rumahku sendiri. Jika kebetulan waktu lesku tidak
terlalu jauh dari jam pulangku, seringkali aku lebih memilih untuk
langsung beristirahat di pastory yang letaknya lebih dekat dibandingkan
dengan jarak tempuh rumah dan tempat kursus.
Seperti biasa aku duduk santai sambil
mendengarkan para penghuni yang berbincang dan bercanda. Om Yo, duduk di
sebelahku. Sementara Tante Hanna seperti biasa membujukku untuk mau
makan siang. Dan terus menerus menasihati bahwa buah saja tidak cukup
untuk memberiku energy. Wah, beliau tidak tahu, semangkuk irisan buah
siang itu tetap saja membuat aku sanggup untuk pecicilan ke sana sini.
Tak berapa lama, muncul beberapa orang
melintas di selasar pastory. Dari sekian orang itu aku mengenal mereka
karena kami sesama anggota jemaat. Namun ada dua atau tiga orang yang
tidak aku kenal. Yang membuat aku sedikit tercekat adalah mereka
mengenakan kostum kepercayaan yang berseberangan dengan kami.
Mereka mengangguk sopan dan penuh hormat
kepada Om Yo dan Tante Hanna. Dengan ramah mereka dipersilahkan masuk
untuk bergabung ke ruang makan untuk bersantap siang. Tidak ada mimic
muka yang aneh dari Om dan Tante. Mereka santai saja seolah tidak
terjadi sesuatu yang istimewa.
Sementara mata dan pikiranku sibuk menelisik, Om Yo bertanya,”Mengapa?”
Bukannya menjawab aku malah balik bertanya,”Siapa?”
Om Yo mengangkat kedua alisnya
“Mereka tadi siapa?”tegasku
“Oh..itu.. mereka buruh pabrik sebelah. Memang biasa ikut makan siang di sini bersama si Agus (samaran)
“Tapi ….?” Tanyaku menggantung karena ku lihat tidak ada yang mereka permasalahkan dari peristiwa yang aku anggap langka.
Om Yo paham dengan pertanyaan menggantung
itu. Beliau paham sekali bahwa waktu itu aku masih sangat belia. Sedang
berapi-api dalam cinta-Nya, namun belum berimbang dalam menyikapi hidup.
“Kau tahu hukum kasih, Ris?” Tanya beliau
“Tentu saja, di luar kepala malah!” Jawabku sambil menjentikkan ujung kelingkingku
“Bisa kau sebutkan hukum kasih yang kedua sekarang?” lagi Tanya Om Yo“
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”jawabku
“Coba ulangi lagi?!” pintanya
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”lagi jawabku
“Coba ulangi lagi?!”lagi pintanya
Aku mendengus kesal, merasa dikerjai. Beliau tersenyum menyentuh pundakku dan berkata,”Perintah
Tuhan adalah kasihilah sesamamu manusia. Tuhan Yesus tidak berkata
kasihilah sesama agamamu. Tuhan Yesus berkata kasihilah sesamamu manusia
tidak tergantung apakah mereka dari suku atau agama yang sama!”
Aku terdiam, betapa tiba-tiba aku merasa kecil dan menjadi merasa tidak tahu banyak setelah penjabaran itu.
“Wis dong, ndhuk?! (Sudah paham, Ndhuk?)”Tanya beliau seraya tersenyum
Lagi-lagi aku diam tidak
menyahut. Beliau pun melanjutkan aktivitasnya meninggalkan aku sendirian
merenung. Siang itu api fanatic yang membakar hatiku padam seketika,
berganti aliran kasih yang sejuk. Siang itu semangat fanatic yang salah
merapuh, digantikan pengertian baru. Bahwa kasih merangkul banyak
perbedaan. Kasih artinya menabur kebajikan di banyak ladang. Kasih
artinya sanggup hidup berdampingan bahkan berpelukan dalam keragaman
Siang itu, aku belajar bahwa
memang penting membaca dan menghapal banyak ayat alkitab. Tapi yang
lebih penting dan menyenangkan hati Tuhan adalah, ketika aku memahami
dan menjadi pelaku Firman-Nya.***
Di minggu-minggu yang akan datang, aku akan berkisah
tentang sebuah rumah di tengah kebun tebu. Juga tentang penghuninya yang
mungkin sudah kau kenal, mungkin juga tidak. Tentang sebuah rumah yang
selalu terbuka bagi siapa saja untuk belajar tentang kasih juga
menyaksikan contoh kongkret praktek iman dalam kehidupan sehari-hari.
Aku hanya mencoba merekam jejak hidup yang tertinggal di sana. Rumah itu
seringkali kusebut “Padepokan Guru Alit”
Diambil dari Milis GPdI
Cerita oleh : Riris Ernaeni
0 komentar:
Post a Comment